Space Iklan Website Murah

Pasang Iklan Di Sini

Curhat Masalah Kesehatan Indonesia, Orang Miskin Dilarang Sakit

Orang Miskin Dilarang Sakit
Gambar hanya pemanis, realitanya saja yang tak pernah manis.

Merasa hancur pas dengar dialog wali pasien anak dan perawat di RSUD pagi tadi. Dialog itu soal pilihan pulang atau tetap dirawat.

Simalakama mengitari lelaki berbadan kurus itu. Kuduga ia tak sekurus ini dua minggu yang lalu. Dibanding sekarang ini, dimana anaknya yang masih sekira 4 tahun terpaksa dirawat di RSUD.

Semua orang tua perhatiannya pasti hanya kepada anak hingga lupa memerhatikan kesehatan diri sendiri. Terlebih anak perempuan, terlebih anak perempuan semata wayang, terlebih anak perempuan semata wayang sedang dalam keadaan koma hampir 10 hari.

"Kalau mau pulang, silahkan pulang. Tapi alat-alat ini tidak boleh dibawa pulang. Ini punya rumah sakit", cetus perawat di awal-awal dialog kudengar. Suaranya keras sekali menembus bulatan handsfree yang menyumpal kupingku sedari 10 menit sebelumnya.

Aku yang tadinya cukup slow nonton youtube elektabilitas pak ganjar sama pak prabowo dan mbak puan di bursa bebas capres 2024 pun jadi agak buyar.

Kulepas hansfree 10 ribuan punyaku. Sekarang kupilih fokus menguping pembicaraan mereka di radius 5 meter arah jam duaku.

"Maksudnya kami mau bawa dia pulang hari ini. Tapi nanti ga tau di rumah nanti mau gimana merawatnya", jawab lelaki itu memelas.

"Iya pak, kalo mau pulang silahkan. Alatnya tetap di ruangan. Berarti pasien pulang karena kemauan sendiri. Bukan saran dokter. Kalau terjadi apa-apa dengan pasien di rumah nanti bukan tanggung jawab kami", balas perawat seolah meluruskan adanya aturan medis di Republik Indonesia yang membiarkan pasien koma dibawa pulang.

"Kalau kartu itu kapan keluarnya ya bu?", tanya lelaki itu menimpali.

"Kartu apa? Oh BPJS. Kalau Kartu BPJS bukan urusan kami. Urus aja di sana", jawab perawat sambil menunjuk ke arah timur lautnya.

Kubayangkan, kalau ujung jarinya dipasang senjata laser, maka kantor BPJS Kesehatan yang jaraknya 10 menit dari RSUD akan meledak hebat seketika ia menunjuk tadi.

"Tapi sudah seminggu lalu bu kami daftar. Katanya disuruh nunggu 14 hari baru siap", kata seorang perempuan muda memotong dialog mereka.

"Akupun udah pasrahnya bu, apa keputusan suamiku aku ikut. Mau anakku dirawat aku ikut, mau dibawa pulang aku ikut. Aku udah pasrah", sambungnya melirih.

Ternyata lelaki ini bersama istrinya. Mereka berdualah yang terus siaga menjaga anak perempuan semata wayangnya yang terbujur koma di ranjang ruangan kelas RSUD.

"BPJS bukan urusan kami bu. Tidak tahu kami soal itu. Sekarang kalo pasien mau dibawa pulang, bapak silahkan ke bagian keuangan. Diselesaikan urusan pembayaran di sana. Tugas kami cuma merawat pasien", ungkap perawat perempuan itu seolah menegaskan bahwa kesehatan itu mahal, carilah uang sebanyak-banyaknya karena segalanya pakai uang.

"Di sana ya bu?", tanya lelaki itu sambil menunjuk.

"Iya pak. Di sana", jawab perawat menunjuk ke arah yang sama.

Kali ini aku membayangkan kalau ujung jari lelaki itu dipasang senjata laser pembeku dan ujung jari perawat ada laser pemanas, maka kantor bagian keuangan RSUD akan membeku, lalu mencair dengan cepat membanjiri seisi RSUD.

Tak lama dialog mereka berakhir. Perawat tadi keluar lalu belok kiri, balik ke ruangan perawat. Lelaki itu ikut keluar tapi belok kanan, ke arah bangku panjang di bawah pohon.

"Tadinya anak kami ini dirawat di rumah sakit sana bu. 5 hari kami kena biaya 6 juta. Jadi kami minta rujuk lah ke sini sambil menunggu BPJS. Tapi sekarang uang kami sudah habis semua bu", lirih perempuan muda dalam kesendiriannya. Ia menelepon entah siapa.

"Yaudah lah bu. Aku pasrah. Kalau mau dibawa pulang ya sudahlah uang kami sudah tidak ada", ungkapnya lagi sebelum menutup telepon.

Aku berdiri, kugulung handsfree mahalku. Kukantongi. Lalu ku lihat dari jauh setubuh bocah yang sudah lama tak bangun-bangun itu.

Sudut matanya berair, hidungnya disumbat selang oksigen. Walaupun dipakaikan baju minim, aku masih jelas melihat lehernya yang ditembus alat medis. Selang nutrisi yang terhubung ke botol berisi cairan bening di atasnya. Kasihan sekali bocah miskin ini, pikirku.

Aku bergegas keluar. Kupakai selop dekilku. Kupaskan maskerku. Mulailah aku menapak koridor RSUD yang semakin hari semakin banyak proyek pembangunannya.

Tak lupa kurogoh selembar uang duaribu lecek dari kantong celanaku yang mulai bocor halus. Buat buat parkir di portal keluar RSUD.

Sebentar kulihat lelaki tadi berduduk jongkok di bawah pohon. Rupanya ia sedang tak mau duduk di bangku panjang. Dilipatnya kedua lututnya supaya bisa dilipatnya juga dua tangannya.

Samar-samar kutengok binar di matanya. Binar itu lalu jatuh tepat di lipatan tangannya. Ia pun mengelap. Dibakarnya sebatang rokok, maka semakin samarlah butir air matanya itu.

Akupun melanjutkan tapakan kaki. Kulihat wajah Moehammad Hoesni Thamrin yang sudah lecek, kami saling bertatapan. Aku komat kamit menjuruskan sebaris kalimat langsung kepada Tuhan pemilik bumi dan kehidupan. Agar tak lagi melihat drama kemiskinan versus sistem kesehatan berlanjut di manapun mataku tebelalak besok.


Kisaran, 28 Mei 2021.

Posting Komentar

0 Komentar