Space Iklan Website Murah

Pasang Iklan Di Sini

Pemuda dan Hiperrealitas Kehidupan Globalisasi

Pemuda dan Hiperrealitas Kehidupan Globalisasi

“Anak muda memang minim pengalaman, karena itu ia tak tawarkan masa lalu, anak muda menawarkan masa depan.”  (Anies Baswedan)

Sumpah pemuda adalah sumpah suci yang diucapkan para anak muda terdahulu sebagai bentuk komitmen diri yang bulat dalam mewujudkan rasa nasionalisme kebangsaannya. Teringat 89 tahun lalu, banyak organisasi kepemudaan seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes dan berbagai kelompok terlukis dalam diorama keabadian yakni Kongres Pemuda.

Hasil dari kongres tersebut mengikrarkan tiga nilai yaitu : bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Pada Kongres Pemuda lagu Indonesia Raya pun pertama kalinya diperdengarkan oleh Wage Rudolf Soepratman melalui melodi biolanya. Dari sinilah terlecut spirit baru bagi bangsa Indonesia jika kita bisa merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan. Momentum di mana tonggak-tonggak sejarah bangsa ini telah mulai dibangun, di mana peristiwa-peristiwa besar selanjutnya akan menjadi sejarah Indonesia.

Berangkat dari sumpah pemuda tersebut, semangat imajiner tertular ke dalam kalbu bangsa Indonesia. Pergerakan bersama oleh para anak muda beriringan dengan golongan tua melahirkan sebuah proklamasi sebagai awal dari era panjang negara Indonesia merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Selanjutnya, peran pemuda terlukis dalam satu kisah yang menjadi sejarah, Pemberontakan G 30 S. Sebuah kelompok yang terhimpun dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa menyampaikan Tritura (Tri tuntutan rakyat) dalam upaya mewujudkan kedaulatan bangsa. Serangkaian aksi tersebut berhasil terlaksana karena korelasi pemuda dengan militer saat itu. Namun pola ini tak berlanjut.

Realiatas berbeda dialami para pemuda di kurun tahun 1974, dimana saat itu pergerakan mengalami konfrontasi dengan pihak militer. perlakuan tersebut merupakan salah satu imbas dari sikap represif pemerintahan keluarga Cendana. Menginjak era 1998, para pemuda tetap mengawal Indonesia sebagai peran Guardian of Value. Puncak aksi 1998 berhasil melemahkan kekuatan pemerintahan Soeharto dan mengawali era reformasi di Indonesia.

Kini pemuda Indonesia tak lagi sama dengan pemuda dulu. Semangat zaman dan intelektualitas yang dimiliki generasi ini berpengaruh dalam perjuangan para pemuda. masuknya globalisasi di bidang teknologi informasi merubah mindset sebagai generasi millenial yang taat akan nilai-nilai instan.

Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia

Anak muda zaman now beda dengan anak muda zaman old. Jangankan membahas apa itu reklamasi, siapa yang suka gratifikasi, bagamana proses revolusi dan kapan reformasi. Ditanya urutan nama presiden pun mereka tak paham. Melemahnya chauvisnisme berdampak pada gerakan pen-dharma-an pada tanah air. Kontribusi mayoritas saat ini memang keren namun nirfaedah. Tumpul. Sedikit sekali yang bisa ditemukan dalam sebuah kumpulan kegiatan yang mengatasnamakan perjuangan pemuda Indonesia untuk Indonesia. Bak buih di lautan, meskipun banyak namun tak berkualitas.

Berbangsa satu, bangsa Indonesia

Banyaknya isu ‘kegaduhan’ yang mengancam stabilitas negara ini adalah kegagalan kita dalam memahami indahnya keberagaman dalam kehidupan. Politik identitas semakin menguat dalam upaya eksistensi diri bahwa “inilah Aku, inilah kelompokku. Aku hidup di muka bumi ini sebagai aku dan kita, tanpa kamu,” seakan generasi Soe Hok Gie tidak muncul dari para pemuda saat ini. Padahal menurut BPS bahwa angka generasi muda di Indonesia menyentuh hampir 30% jumlah penduduk Indonesia. Bayangkan jika mereka menghimpun diri untuk melakukan tindakan amoral dan anarki untuk mengimplementasikan idealisme yang salah. Mungkin Indonesia yang bertanah emas, berlaut susu tak akan ada lagi dalam ingatan manusia selanjutnya.

Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Loe, gue, bro, ajussi, oppa, YXG kuy dan idiom bahasa planet lainnya menjamur. Jarang lagi kita dengar sapaan Kangmas, Cak, Diajeng, Teteh, Abang, Opung, Bli, Ale. Kaidah-kaidah bertutur Indonesia sangat sulit diucapkan. Seakan kata-kata tersebut mandeg tercekat di tenggorokan. Mahakarya dari Tan Malaka, Hamka dan Chairil Anwar tak lagi menghias katalog buku pribadi. Tabloid trendy, fashion dan gadget-lah yang lebih digemari. Kaefci dan Mekdi merupakan ruang membina diri yang lebih asik ketimbang ruang rohani (Masjid, Gereja, Pura, Klenteng dan Vihara).

Menanggapi hoaks. Apa yang lebih cepat dari kecepatan cahaya? Yaitu orang yang menyebarkan berita hoaks. Konten hoaks menjadi konsumsi wajib publik. Bukannya semakin sadar, hoaks malah dijadikan bahan menarik untuk bahasa memecah belah antar kubu santer diviralkan daripada ujaran yang meneduhkan persatuan. Lah wong namanya pemuda itu bebas. Hingga pergaulan pun bebas. Memang susah mengajari yang lebih mengaggumi budaya asing yang populer dianggap lebih adiluhung daripada kesatuan budaya Indonesia.

Semoga dengan refelksi semangat Sumpah Pemuda mampu diresapi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak untuk satu hari saja. Karena pemuda Indonesia nantinya akan menjadi aset berharga. Dengan banyaknya pemuda akan menjadi bahan bakar terbaharukan dari bonus demografi yang melahirkan masyarakat produktif tak konsumtif, yang kritis tapi tidak apatis bin anarkis, yang suka mengejar ilmu dan bukan ghibah melulu.

Selagi muda cobalah untuk menuliskan kisahmu baik dalam sebuah kertas atau aktivitas hitam putih kehidupan.

Yuk, jadi pemuda berfaedah !

Posting Komentar

0 Komentar